Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu bentuk dari Subjek Hukum di Indonesia dalam kerangka “Badan Hukum”. Berbeda halnya dengan subjek hukum berupa orang perorangan yang langsung bisa bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, subjek hukum PT dalam pemenuhan hak dan kewajibannya selaku subjek hukum, harus dijalankan atau dilaksanakan oleh “organ” dari PT itu sendiri. Organ dari suatu PT terdiri dari:[1]
- Para Pemegang Saham, yang kemudian terhimpun dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
- Dewan Komisaris; dan
- Direksi Perusahaan.
Masing – masing dari ketiga organ PT tersebut memiliki peran dan fungsi tersendiri, yang bahkan dalam “keadaan tertentu” peran salah satu organ dapat digantikan dengan organ lainnya. Singkatnya, peran utama dari masing-masing organ tersebut ialah sebagai berikut:
RUPS merupakan Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/atau anggaran dasar PT.[2] Kewenangan ini umumnya berupa kebijakan dan keputusan strategis bagi Perusahaan. Dengan kata lain, RUPS merupakan wadah bagi para pemilik perusahaan untuk mengatur perusahaan yang dimilikinya.
Adapun Direksi merupakan Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.[3] Kewenangan direksi secara umum diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan dan secara lebih rinci diatur dalam Anggaran Dasar Perusahaan yang dapat dilihat pada Akta Pendirian Perusahaan. Direksi suatu perusahaan inilah yang akan menjalankan operasional perusahaan hari demi hari selama perusahaan tersebut beroperasi. Karena itu, segala hal terkait dengan operasional perusahaan akan menjadi kewajiban dan tanggung jawab Direksi Perusahaan.
Selanjutnya, Dewan Komisaris merupakan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.[4]
Dari ketiga organ PT tersebut, antara Komisaris dan Direksi tidak bisa saling merangkap jabatan, namun seorang pemegang saham (termasuk dalam organ RUPS) dapat sekaligus menjadi Direksi atau Komisaris. Ketentuan tentang persyaratan, jumlah direksi dan komisaris dapat berbeda-beda untuk beberapa bidang usaha tertentu di Indonesia, hal ini tergantung dari regulasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang mengatur masing-masing bidang usaha tersebut. Seperti contohnya, perusahaan yang bergerak di bidang pasar modal, maka harus memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menentukan direksi dan komisarisnya termasuk juga pemegang sahamnya.
Kembali ke persoalan operasional perusahaan. Maka sesuai dengan uraian di atas, dan juga berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”.[5] Akan tetapi, untuk menerapkan ketentuan tersebut juga perlu memperhatikan beberapa factor lainnya, seperti batasan kewenangan direksi, apakah semua hal terkait dengan perseroan bisa diwakilkan oleh masing-masing direksi atau ada batasannya. Kemudian bagaimana jika direksi lebih dari satu maka siapa yang harus mewakili perusahaan.
Anggaran dasar perusahaan, umumnya akan memberikan batasan terkait dengan hal-hal apa saja yang bisa langsung dilakukan oleh masing-masing direksi, dan hal-hal apa saja yang harus dilakukan dengan persetujuan Komisaris atau RUPS terlebih dahulu. Untuk mengetahui hal itu, maka perlu untuk mencermati anggaran dasar masing-masing perusahaan.
Demikian juga dengan situasi dimana suatu perusahaan memiliki lebih dari satu orang direktur. Jika demikian adanya, maka umumnya anggaran dasar perusahaan tersebut akan menentukan direktur mana yang memiliki prioritas untuk mewakili perusahaan, atau bahkan tidak menutup kemungkinan anggaran dasar perusahaan tersebut mengatur bahwa untuk jenis tindakan hokum tertentu harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh anggota direksi atau oleh lebih dari satu anggota direksi.
Sekalipun telah dijelaskan di atas bahwa direksi mewakili perseroan dalah hal operasional perseroan, sedangkan komisaris bertugas untuk mengawasi jalannya perseroan. Namun perlu diketahui juga bahwa dalam keadaan tertentu, dewan komisaris bisa menjadi pihak yang berwenang mewakili perseroan dalam hal adanya benturan kepentingan terhadap seluruh anggota direksi.[6] Selain itu juga, ketika suatu perseroan tidak memiliki direksi (terjadi kekosongan jabatan direksi perseroan untuk sementara waktu baik itu karena seluruh anggota direksi berhalangan atau diberhentikan sementara waktu) maka berdasarkan anggaran dasar perusahaan atau keputusan RUPS, maka dewan komisaris dapat bertindak melakukan pengurusan perusahaan layaknya seorang direksi perusahaan.[7] Akan tetapi, yang harus diingat bahwa perbedaan mendasar antara direksi dan komisaris ialah, jika direksi dapat bertindak sendiri-sendiri, sedangkan dewan komisaris bersifat kolektif kolegial.[8]
Ketika seorang direktur bertindak untuk dan atas nama perseroan, maka dengan statusnya sebagai organ perseroan, hal tersebut dianggap sebagai tindakan Perusahaan (bukan tindakan pribadi dari seorang direktur). Akan tetapi dalam keadaan tertentu, ketika seorang direktur bertindak diluar kewenangannya atau melanggar ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, maka seorang direktur tersebut dapat dimintai tanggung jawab secara pribadi.[9]
Oleh karena peran dari seorang direktur perusahaan sangat strategis dan memiliki batasan-batasan, maka dalam menjalin kerjasama dengan suatu perusahaan (PT), sangat disarankan untuk memeriksa dengan seksama kebenaran dan identitas dari seorang direktur tersebut, karena akan berdampak pada sah atau tidaknya tindakan yang dilakukannya serta alur pertanggung jawabannya di kemudian hari jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Ketika seorang direktur akan diangkat untuk menjabat sebagai direksi suatu perusahaan, Notaris selaku pembuat anggaran dasar perusahaan umumnya akan meminta identitas dari seorang direksi berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) jika warga Negara Indonesia dan Pasport jika berkewarganegaraan asing, dan bukti identitas tersebut yang akan dijadikan dasar dalam pencantuman nama dan identitas seorang direksi dalam anggaran dasar perusahaan.
Oleh karena itu, untuk memastikan kebenaran dari seorang direksi perusahaan, maka harus diminta dan diperiksa terkait dengan kecocokan identitas direktur itu sendiri dengan keterangan identitas dalam anggaran dasar perusahaan. Selain itu juga, sebagaimana dijelaskan di atas, dalam keadaan tertentu seorang direksi dapat dimintai pertanggung jawaban pribadi, maka dengan memiliki identitas dari anggota direksi tersebut, maka akan lebih memudahkan dalam melakukan upaya hukum dalam rangka meminta pertanggungjawaban.
Jika identitas seorang direksi tidak diperiksa dan dipastikan, dan ternyata di kemudian hari diketahui bahwa orang tersebut bukanlah direksi perusahaan tersebut pada waktu itu, maka potensi risikonya ialah tindakan hokum yang dilakukan oleh orang tersebut (yang mengaku sebagai direksi) tidak akan mengikat bagi perusahaan, atau paling tidak perjanjian yang dibuat dengan perusahaan rekan bisnis tersebut berpotensi untuk “dapat dibatalkan” karena tidak memenuhi syarat subjektif dari suatu perjanjian.[10]
[1] Pasal 1 (2) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUPT)
[2] Pasal 1 (4) UUPT.
[3] Pasal 1 (5) UUPT.
[4] Pasal 1 (6) UUPT.
[5] Pasal 98 ayat (1) UUPT.
[6] Pasal 99 (2b) UUPT.
[7] Pasal 118 UUPT.
[8] Pasal 108 (4) UUPT.
[9] Pasal 97 (3) UUPT.
[10] Pasal 1320 KUH Perdata.
Regards